tahun tidak menyadari
bahayanya bekerja sebagai kasir
di sebuah toko serba ada di
Jakarta. Dengan semangat dan
keinginan untuk mandiri membuat
dirinyatidak mempedulikan
nasehat orang tuanya yang
merasa risau melihat putriya
sering mendapat giliran jaga dari
malam hingga pagi. Desy lebih
memilih bekerja pada shift
tersebut, karena dari saat
tengah malam sampai pagi,
jarang sekali ada pembeli,
sehingga Desy bisa belajar untuk
kuliahnya siang nanti.
Sampai akhirnya pada suatu
malam, Desy mendapati dirinya
ditodong oleh sepucuk pistol
tepat di depan matanya. Yang
berambut Gondrong, dan yang
satu lagi berkumis tebal. Mereka
berdua, menerobos masuk
membuat Desy yang sedang
berkonsentrasi pada bukunya
terkejut.
“Keluarin uangnya!” perintah si
Gondrong, sementara si Kumis
memutuskan semua kabel video
dan telepon yang ada di toko itu.
Tangan Desy gemetar berusaha
membuka laci kasir yang ada di
depannya, saking takutnya kunci
itu sampai terjatuh beberapa
kali. Setelah beberapa saat, Desy
berhasil membuka laci itu dan
memerikan semua uang yang ada
di dalamnya, sebanyak 100 ribu
kepada si Gondrong, Desy tidak
diperkenankan menyimpan uang
lebih dari 100 ribu di laci
tersebut. Karena itu setiap
kelebihannya langsung dimasukan
ke lemari besi. Setelah si
Gondrong merampas uang itu,
Desy langsung mundur ke
belakang, ia sangat ketakutan
kakinya lemas, hampir jatuh.
“Masa cuma segini?!” bentak si
Gondrong.
“Buka lemari besinya! Sekarang!”
Mereka berdua menggiring Desy
masuk ke kantor manajernya
dan mendorongnya hingga jatuh
berlutut di hadapan lemari besi.
Desy mulai menangis, ia tidak
tahu nomor kombinasi lemari besi
itu, ia hanya menyelipkan uang
masuk ke dalam lemari besi
melalui celah pintunya.
“Cepat!” bentak si Kumis, Desy
merasakan pistol menempel di
belakang kepalanya. Desy
berusaha untuk menjelaskan
kalau ia tidak mengetahui nomor
lemari besi itu. Untunglah, melihat
mata Desy yang ketakutan,
mereka berdua percaya.
“Brengsek! Nggak sebanding
sama resikonya! Iket dia, biar dia
nggak bisa manggil polisi!” Desy di
dudukkan di kursi manajernya
dengan tangan diikat ke
belakang. Kemudian kedua kaki
Desy juga diikat ke kaki kursi
yang ia duduki. si Kumis kemudian
mengambil plester dan
menempelkannya ke mulut Desy.
“Beres! Ayo cabut!”
“Tunggu! Tunggu dulu cing! Liat
dia, dia boleh juga ya?!”.
“Cepetan! Ntar ada yang tau!
Kita cuma dapet 100 ribu,
cepetan!”.
“Gue pengen liat bentar aja!”.
Mata Desy terbelalak ketika si
Gondrong mendekat dan menarik
t-shirt merah muda yang ia
kenakan. Dengan satu tarikan
keras, t-shirt itu robek membuat
BH-nya terlihat. Payudara Desy
yang berukuran sedang,
bergoyang-goyang karena Desy
meronta-ronta dalam ikatannya.
“Wow, oke banget!” si Gondrong
berseru kagum.
“Oke, sekarang kita pergi!” ajak
si Kumis, tidak begitu tertarik
pada Desy karena sibuk
mengawasi keadaan depan toko.
Tapi si Gondrong tidak peduli, ia
sekarang meraba-raba puting
susu Desy lewat BH-nya, setelah
itu ia memasukkan jarinya ke
belahan payudara Desy. Dan
tiba-tiba, dengan satu tarikan
BH Desy ditariknya, tubuh Desy
ikut tertarik ke depan, tapi
akhirnya tali BH Desy terputus
dan sekarang payudara Desy
bergoyang bebas tanpa ditutupi
selembar benangpun.
“Jangan!” teriak Desy. Tapi yang
tedengar cuma suara gumaman.
Terasa oleh Desy mulut si
Gondrong menghisapi puting
susunya pertama yang kiri lalu
sekarang pindah ke kanan.
Kemudian Desy menjerit ketika si
Gondrong mengigit puting
susunya.
“Diem! Jangan berisik!” si
Gondrong menampar Desy,
hingga berkunang-kunang. Desy
hanya bisa menangis.
“Gue bilang diem!”, sembari
berkata itu si Gondrong
menampar buah dada Desy,
sampai sebuah cap tangan
berwarna merah terbentuk di
payudara kiri Desy. Kemudian si
Gondrong bergeser dan
menampar uang sebelah kanan.
Desy terus menjerit-jerit dengan
mulut diplester, sementara si
Gondrong terus memukuli buah
dada Desy sampai akhirnya
bulatan buah dada Desy
berwarna merah.
“Ayo, cepetan cing!”, si Kumis
menarik tangan si Gondrong.
“Kita musti cepet minggat dari
sini!” Desy bersyukur ketika
melihat si Gondrong diseret
keluar ruangan oleh si Kumis.
Payudaranya terasa sangat
sakit, tapi Desy bersyukur ia
masih hidup. Melihat sekelilingnya,
Desy berusaha menemukan
sesuatu untuk membebaskan
dirinya. Di meja ada gunting, tapi
ia tidak bisa bergerak sama
sekali.
“Hey, Roy! Tokonya kosong!”.
“Masa, cepetan ambil permen!”.
“Goblok lo, ambil bir tolol!”.
Tubuh Desy menegang,
mendengar suara beberapa
anak-anak di bagian depan toko.
Dari suaranya ia mengetahui
bahwa itu adalah anak-anak
berandal yang ada di lingkungan
itu. Mereka baru berusia sekitar
12 sampai 15 tahun. Desy
mengeluarkan suara minta
tolong.
“sstt! Lo denger nggak?!”.
“Cepet kembaliin semua!”.
“Lari, lari! Kita ketauan!”.
Tiba-tiba salah seorang dari
mereka menjengukkan kepalanya
ke dalam kantor manajer. Ia
terperangah melihat Desy,
terikat di kursi, dengan t-shirt
robek membuat buah dadanya
mengacung ke arahnya.
“Buset!” berandal itu tampak
terkejut sekali, tapi sesaat
kemudian ia menyeringai.
“Hei, liat nih! Ada kejutan!”
Desy berusaha menjelaskan pada
mereka, menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ia berusaha
menjelaskan bahwa dirinya baru
saja dirampok. Ia berusaha minta
tolong agar mereka memanggil
polisi. Ia berusaha memohon agar
mereka melepaskan dirinya dan
menutupi dadanya. Tapi yang
keluar hanya suara gumanan
karena mulutnya masih tertutup
plester. Satu demi satu
berandalan itu masuk ke dalam
kantor. Satu, kemudian dua, lalu
tiga. Empat. Lima! Lima wajah-
wajah dengan senyum
menyeringai sekarang mengamati
tubuh Desy, yang terus
meronta-ronta berusaha
menutupi tubuhnya dari
pandangan mereka. Berandalan,
yang berumur sekitar 15 tahun
itu terkagum-kagum dengan
penemuan mereka.
“Gila! Cewek nih!”.
“Dia telanjang!”.
“Tu liat susunya! susu!”.
“Mana, mana gue pengen liat!”.
“Gue pengen pegang!”.
“Pasti alus tuh!”.
“Bawahnya kayak apa ya?!”.
Mereka semua berkomentar
bersamaan, kegirangan
menemukan Desy yang sudah
terikat erat. Kelima berandal itu
maju dan merubung Desy,
tangan-tangan meraih tubuh
Desy. Desy tidak tahu lagi, milik
siapa tanga-tangan tersebut,
semuanya berebutan mengelus
pinggangnya, meremas buah
dadanya, menjambak rambutnya,
seseorang menjepit dan menarik-
narik puting susunya. Kemudian,
salah satu dari mereka menjilati
pipinya dan memasukan ujung
lidahnya ke lubang telinga Desy.
“Ayo, kita lepasin dia dari kursi!”
Mereka melepaskan ikatan pada
kaki Desy, tapi dengan tangan
masih terikat di belakang, sambil
terus meraba dan meremas
tubuh Desy. Melihat ruangan
kantor itu terlalu kecil mereka
menyeret Desy keluar menuju
bagian depan toko. Desy
meronta-ronta ketika merasa
ada yang berusaha melepaskan
kancing jeansnya. Mereka
menarik-narik jeans Desy sampai
akhirnya turun sampai ke lutut.
Desy terus meronta-ronta, dan
akhirnya mereka berenam jatuh
tersungkur ke lantai. Sebelum
Desy sempat membalikkan
badannya, tiba-tiba terdengar
suara lecutan, dan sesaat
kemudian Desy merasakan sakit
yang amat sangat di pantatnya.
Desy melihat salah seorang
berandal tadi memegang sebuah
ikat pinggang kulit dan bersiap-
siap mengayunkannya lagi ke
pantatnya!
“Bangun! Bangun!” ia berteriak,
kemudian mengayunkan lagi ikat
pinggangnya. Sebuah garis merah
timbul di pantat Desy. Desy
berusaha berguling melindungi
pantatnya yang terasa sakit
sekali. Tapi berandal tadi tidak
peduli, ia kembali mengayunkan
ikat pinggang tadi yang
sekarang menghajar perut Desy.
“Bangun! naik ke sini!” berandal
tadi menyapu barang-barang
yang ada di atas meja layan
hingga berjatuhan ke lantai. Desy
berusaha bangun tapi tidak
berhasil. Lagi, sebuah pukulan
menghajar buah dadanya. Desy
berguling dan berusaha berdiri
dan berhasil berlutut dan berdiri.
Berandal tadi memberikan ikat
pinggang tadi kepada temannya.
“Kalo dia gerak, pukul aja!”
Langsung saja Desy mendapat
pukulan di pantatnya. Berandal-
berandal yang lain tertawa dan
bersorak. Mereka lalu mendorong
dan menarik tubuhnya, membuat
ia bergerak-gerak sehingga
mereka punya alasan lagi buat
memukulnya. Berandal yang
pertama tadi kembali dengan
membawa segulung plester
besar. Ia mendorong Desy hingga
berbaring telentang di atas meja.
Pertama ia melepaskan tangan
Desy kemudian langsung
mengikatnya dengan plester di
sudut-sudut meja, tangan Desy
sekarang terikat erat dengan
plester sampai ke kaki meja.
Selanjutnya ia melepaskan
sepatu, jeans dan celana dalam
Desy dan mengikatkan kaki-kaki
Desy ke kaki-kaki meja lainnya.
Sekarang Desy berbaring
telentang, telanjang bulat
dengan tangan dan kaki terbuka
lebar menyerupai huruf X.
“Waktu Pesta!” berandal tadi lalu
menurunkan celana dan celana
dalamnya. Mata Desy terbelalak
melihat penisnya menggantung,
setengah keras sepanjang 20
senti. Berandal tadi memegang
pinggul Desy dan menariknya
hingga mendekati pinggir meja.
Kemudian ia menggosok-gosok
penisnya hingga berdiri
mengacung tegang.
“Waktunya masuk!” ia bersorak
sementara teman-teman lainnya
bersorak dan tertawa. Dengan
satu dorongan keras, penisnya
masuk ke vagina Desy. Desy
melolong kesakitan. Air mata
meleleh turun, sementara
berandal tadi mulai bergerak
keluar masuk. Temannya naik ke
atas meja, menduduki dada Desy,
membuat Desy sulit bernafas.
Kemudian ia melepaskan
celananya, mengeluarkan
penisnya dari celana dalamnya.
Plester di mulut Desy ditariknya
hingga lepas. Desy berusaha
berteriak, tapi mulutnya
langsung dimasuki oleh penis
berandal yang ada di atasnya.
Langsung saja, penis tadi
mengeras dan membesar
bersamaan dengan keluar
masuknya penis tadi di mulut
Desy. Pandangan Desy
berkunang-kunang dan merasa
akan pingsan, ketika tiba-tiba
mulutnya dipenuhi cairan kental,
yang terasa asin dan pahit.
Semprotan demi semprotan
masuk, tanpa bisa dimuntahkan
oleh Desy. Desy terus menelan
cairan tadi agar bisa terus
mengambil nafas.
Berandal yang duduk di atas
dada Desy turun ketika
kemudian, berandal yang sedang
meperkosanya di pinggir meja
bergerak makin cepat. Ia
memukuli perut Desy, membuat
Desy mengejang dan vaginanya
berkontraksi menjepit penisnya.
Ia kemudian memegang buah
dada Desy sambil terus bergerak
makin cepat, ia mengerang-
erang mendekati klimaks.
Tangannya meremas dan menarik
buah dada Desy ketika tubuhnya
bergetar dan sperma pun
menyemprot keluar, terus-
menerus mengalir masuk di
vagina Desy. Sementara itu
berandal yang lainnya berdiri di
samping meja dan melakukan
masturbasi, ketika pimpinan
mereka mencapai puncaknya
mereka juga mengalami ejakulasi
bersamaan. Sperma mereka
menyemprot keluar dan jatuh di
muka, rambut dan dada Desy.
Desy tidak tahu apa yang terjadi
selanjutnya, ketika tahu-tahu ia
kembali sendirian di toko tadi,
masih terikat erat di atas meja.
Ia tersadar ketika menyadari
dirinya terlihat jelas, jika ada
orang lewat di depan tokonya.
Desy meronta-ronta membuat
buah dadanya bergoyang-
goyang. Ia menangis dan meronta
berusaha melepaskan diri dari
plester yang mengikatnya.
Setelah beberapa lama mencoba
Desy berhasil melepaskan tangan
kanannya. Kemudian ia
melepaskan tangan kirinya, kaki
kanannya. Tinggal satu lagi.
“Wah, wah, wah!” terdengar
suara laki-laki di pintu depan.
Desy terkejut dan berusaha
menutupi dada dan vaginanya
dengan kedua tangannya.
“Tolong saya!” ratap Desy.
“Tolong saya Pak! Toko saya
dirampok, saya diikat dan
diperkosa! Tolong saya Pak,
panggilkan polisi!”
“Nama lu Desy kan?” tanya laki-
laki tadi.
“Bagaimana bapak tahu nama
saya?” Desy bingung dan takut.
“Gue Roy. Orang yang
kerjaannya di toko ini lo rebut!”.
“Saya tidak merebut pekerjaan
bapak. Saya tahu dari iklan di
koran. Saya betul-betul tidak
tahu pak! Tolong saya pak!”.
“Gara-gara lo ngelamar ke sini
gue jadi dipecat! Gue nggak
heran lo diterima kalo liat bodi
lo”.
Desy kembali merasa ketakutan
melihat Roy, seseorang yang
belum pernah dilihat dan
dikenalnya tapi sudah
membencinya. Desy kembali
berusaha melepaskan ikatan di
kaki kirinya, membuat Raoy naik
pitam. Ia menyambar tangan
Desy dan menekuknya ke
belakang dan kembali diikatnya
dengan plester, dan plester itu
terus dilitkan sampai mengikat
ke bahu, hingga Desy betul-betul
terikat erat. Ikatan itu membuat
Desy kesakitan, ia menggeliat
dan buah dadanya semakin
membusung keluar.
“Lepaskan! Sakit! aduuhh! Saya
tidak memecat bapak! Kenapa
saya diikat?”
“Gue tadinya mau ngerampok nih
toko, cuma kayaknya gue udah
keduluan. Jadi gue rusak aja deh
nih toko”.
Ia kemudian melepaskan ikatan
kaki Desy sehingga sekarang
Desy duduk di pinggir meja
dengan tangan terikat di
belakang. Kemudian diikatnya lagi
dengan plester.
Kemudian Roy mulai
menghancurkan isi toko itu,
etalase dipecahnya, rak-rak
ditendang jatuh. Kemudian Roy
mulai menghancurkan kotak
pendingin es krim yang ada di
kanan Desy. Es krim beterbangan
dilempar oleh Roy. Beberapa di
antaranya mengenai tubuh Desy,
kemudian meleleh mengalir turun,
melewati punggungnya masuk ke
belahan pantatnya. Di depan, es
tadi mengalir melalui belahan
buah dadanya, turun ke perut
dan mengalir ke vagina Desy.
Rasa dingin juga menempel di
buah dada Desy, membuat
putingnya mengeras san
mengacung. Ketika Roy selesai,
tubuh Desy bergetar kedinginan
dan lengket karena es krim yang
meleleh.
“Lo keliatan kedinginan!” ejek
Roy sambil menyentil puting susu
Desy yang mengeras kaku.
“Gue musti kasih lo sesuatu yang
anget.”
Roy kemudian mendekati wajan
untuk mengoreng hot dog yang
ada di tengah ruangan. Desy
melihat Roy mendekat membawa
beberapa buah sosis yang
berasap.“Jangaann!” Desy
berteriak ketika Roy membuka
bibir vaginanya dan memasukan
satu sosis ke dalam vaginanya
yang terasa dingin karena es
tadi. Kemudian ia memasukan
sosis yang kedua, dan ketiga.
Sosis yang keempat putus ketika
akan dimasukan. Vagina Desy
sekarang diisi oleh tiga buah
sosis yang masih berasap. Desy
menangis kesakitan kerena
panas yang dirasakannya.
“Keliatannya nikmat!” Roy
tertawa.
“Tapi gue lebih suka dengan
mustard!” Ia mengambil botol
mustard dan menekan botol itu.
Cairan mustard keluar
menyemprot ke vagina Desy.
Desy menangis terus, melihat
dirinya disiksa dengan cara yang
tak terbayangkan olehnya.
Sambil tertawa Roy melanjutkan
usahanya menghancurkan isi
toko itu. Desy berusaha
melepaskan diri, tapi tak berhasil.
Nafasnya tersengal-sengal, ia
tidak kuat menahan semua ini.
Tubuh Desy bergerak lunglai
jatuh.”
“Hei! Kalo kerja jangan tidur!”
bentak Roy sambil menampar pipi
Desy.
“Lo tau nggak, daerah sini nggak
aman jadi perlu ada alarm.”
Desy meronta ketakutan melihat
Roy memegang dua buah jepitan
buaya. Jepitan itu bergigi tajam
dan jepitannya keras sekali. Roy
mendekatkan satu jepitan ke
puting susu kanan Desy,
menekannya hingga terbuka dan
melepaskannya hingga menutup
kembali menjepit puting susu
Desy. Desy menjerit dan melolong
kesakitan, gigi jepitan tadi
menancap ke puting susunya.
Kemudian Roy juga menjepit
puting susu yang ada di sebelah
kiri. Air mata Desy bercucuran di
pipi.
Kemudian Roy mengikatkan
kawat halus di kedua jepitan
tadi, mengulurnya dan kemudian
mengikatnya ke pegangan pintu
masuk. Ketika pintu itu didorong
Roy hingga membuka keluar,
Desy merasa jepitan tadi
tertarik oleh kawat, dan
membuat buah dadanya tertarik
dan ia menjerit kesakitan.
“Nah, udah jadi. Lo tau kan pintu
depan ini bisa buka ke dalem ama
keluar, tapi bisa juga disetel
cuma bisa dibuka dengan cara
ditarik bukan didorong. Jadi gue
sekarang pergi dulu, terus nanti
gue pasang biar pintu itu cuma
bisa dibuka kalo ditarik. Nanti
kalo ada orang dateng, pas dia
dorong pintu kan nggak bisa,
pasti dia coba buat narik tuh
pintu, nah, pas narik itu
alarmnya akan bunyi!”
“Jangan! saya mohoon! mohon!
jangan! jangan! ampun!”
Roy tidak peduli, ia keluar dan
tidak lupa memasang kunci pada
pintu itu hingga sekarang pintu
tadi hanya bisa dibuka dengan
ditarik. Desy menangis
ketakutan, puting susunya sudah
hampir rata, dijepit. Ia meronta-
ronta berusaha melepaskan
ikatan. Tubuh Desy berkeringat
setelah berusaha melepaskan diri
tanpa hasil. Lama kemudian
terlihat sebuah bayangan di
depan pintu, Desy melihat
ternyata bayangan itu milik
gelandangan yang sering lewat
dan meminta-minta. Gelandangan
itu melihat tubuh Desy, telanjang
dengan buah dada mengacung.
Gelandang itu mendorong pintu
masuk. Pintu itu tidak terbuka.
Kemudian ia meraih pegangan
pintu dan mulai menariknya.
Desy berusaha menjerit “Jangan!
jangan! jangan buka! jangaann!”,
tapi gelandangan tadi tetap
menarik pintu, yang kemudian
menarik kawat dan menarik
jepitan yang ada di puting
susunya. Gigi-gigi yang sudah
menancap di daging puting
susunya tertarik, merobek
puting susunya. Desy menjerit
keras sekali sebelum jatuh di
atas meja. Pingsan.
Desy tersadar dan menjerit.
Sekarang ia berdiri di depan
meja kasir. Tangannya terikat ke
atas di rangka besi meja kasir.
Sedangkan kakinya juga terikat
terbuka lebar pada kaki-kaki
meja kasir. Ia merasa kesakitan.
Puting susunya sekarang
berwarna ungu, dan menjadi
sangat sensitif. Udara dingin saja
membuat puting susunya
mengacung tegang. Memar-
memar menghiasi seluruh
tubuhnya, mulai pinggang, dada
dan pinggulnya. Desy merasakan
sepasang tangan berusaha
membuka belahan pantatnya dari
belakang. Sesuatu yang dingin
dan keras berusaha masuk ke
liang anusnya. Desy menoleh ke
belakang, dan ia melihat
gelandangan tadi berlutut di
belakangnya sedang memegang
sebuah botol bir.
“Jangan, ampun! Lepaskan saya
pak! Saya sudah diperkosa dan
dipukuli! Saya tidak tahan lagi.”
“Tapi Mbak, pantat Mbak kan
belon.” gelandangan itu berkata
tidak jelas.
“Jangan!” Desy meronta, ketika
penis gelandangan tadi mulai
berusaha masuk ke anusnya.
Setelah beberapa kali usaha,
gelandangan tadi menyadari
penisnya tidak bisa masuk ke
dalam anus Desy. Lalu ia berlutut
lagi, mengambil sebuah botol bir
dari rak dan mulai mendorong
dan memutar-mutarnya masuk
ke liang anus Desy.
Desy menjerit-jerit dan meronta-
ronta ketika leher botol bir tadi
mulai masuk dengan keadaan
masih mempunyai tutup botol
yang berpinggiran tajam. Liang
anus Desy tersayat-sayat ketika
gelandangan tadi memutar-
mutar botol dengan harapan
liang anus Desy bisa membesar.
Setelah beberapa saat,
gelandangan tadi mencabut botol
tadi. Tutup botol bir itu sudah
dilapisi darah dari dalam anus
Desy, tapi ia tidak peduli.
Gelandang itu kembali berusaha
memasukan penisnya ke dalam
anus Desy yang sekarang sudah
membesar karena dimasuki botol
bir. Gelandang tadi mulai
bergerak kesenangan, sudah
lama sekali ia tidak meniduri
perempuan, ia bergerak cepat
dan keras sehingga Desy merasa
dirinya akan terlepar ke depan
setiap gelandangan tadi
bergerak maju. Desy terus
menangis melihat dirinya disodomi
oleh gelandangan yang mungkin
membawa penyakit kelamin, tapi
gelandangan tadi terus bergerak
makin makin cepat, tangannya
meremas buah dada Desy,
membuat Desy menjerit karena
puting susunya yang terluka ikut
diremas dan dipilih-pilin. Akhirnya
dengan satu erangan, gelandang
tadi orgasme, dan Desy merakan
cairan hangat mengalir dalam
anusnya, sampai gelandangan
tadi jatuh terduduk lemas di
belakang Desy.
“Makasih ya Mbak! Saya puas
sekali! Makasih.” gelandangan
tadi melepaskan ikatan Desy.
Kemudian ia mendorong Desy
duduk dan kembali mengikat
tangan Desy ke belakang,
kemudian mengikat kaki Desy
erat-erat. Kemudian tubuh Desy
didorongnya ke bawah meja
kasir hingga tidak terlihat dari
luar.
Sambi terus mengumam terima
kasih gelandangan tadi berjalan
sempoyongan sambil membawa
beberapa botol bir keluar dari
toko. Desy terus menangis,
merintih merasakan sperma
gelandangan tadi mengalir keluar
dari anusnya. Lama kemudian
Desy jatuh pingsan kelelahan dan
shock. Ia baru tersadar ketika
ditemukan oleh rekan kerjanya
yang masuk pukul 6 pagi.